Jurnal Ilmiah,Akses Terbuka
”Pemustaka milenial ini menjadi kelompok utama pemustaka. Mereka memiliki kebutuhan atau minat informasi yang spesifik sehingga memerlukan pelayanan spesifik pula,” kata Rosa Widyawan, pustakawan senior di Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), dalam lokakarya bertema ”Transformasi Kepustakawanan Indonesia dalam Era Akses Terbuka”, Rabu (5/9), di Jakarta.
Untuk menghadapi masalah ini, pustakawan sebagai kunci penting pelayanan informasi perlu mengasah kompetensi mereka di bidang teknologi. Jika kompetensi ini tidak ditingkatkan, akan terjadi friksi di bidang kepustakaan.
”Akan terbentuk ’jurang’ antara pemustaka dan pustakawan sehingga bisa jadi kepustakaan di Indonesia tidak banyak diakses generasi sekarang,” lanjut Rosa.
Jurang ini terjadi karena ada perbedaan pemahaman soal teknologi yang mencolok antara pemustaka dan pustakawan. Pemustaka masa depan sejak kecil dikelilingi teknologi sehingga sudah piawai dalam memanfaatkan teknologi komunikasi dan komputer. Sementara pustakawan, yang rata-rata usianya sudah paruh baya, masih gagap teknologi sehingga kurang maksimal memberikan pelayanan.
Sesuaikan kurikukum
Untuk meningkatkan kompetensi pustakawan, sekolah perpustakaan perlu menyesuaikan kurikulum dengan perkembangan terkini. Oleh karena itu, kata Rosa, penting melibatkan pustakawan dalam penyusunan kurikulum nasional.
Kepala LIPI Lukman Hakim mengatakan, akses terbuka punya banyak kelebihan. Namun, masyarakat perlu mempertimbangkan hak kekayaan intelektual, kepengarangan, dan aspek etika dari jurnal yang diunggah di internet. ”Jangan sampai pelanggaran terhadap ketiga hal itu menghambat perkembangan jurnal akses terbuka,” paparnya.
Pada tahun 2012, LIPI yang mengelola jurnal sejak tahun 1977 membuat akses terbuka untuk koleksi jurnalnya, yang sudah bisa di akses di http://isjd.pdii.lipi.go.id. Akses itu membuka 300 jurnal yang sudah terakreditasi LIPI dan 250 jurnal yang terakreditasi Direktorat Pendidikan Tinggi. (IND)